Kamis, 22 Mei 2014

Suka Duka Program SM3T

Suka duka program SM3T Sarjana Mendidik Terdepan, Terluar dan Tertinggal pasti akan selalu dirasakan oleh setiap sarjana yang mengikuti program ini, bagaimana tidak - seorang sarjana harus rela mengajar di daerah terpencil, daerah bergunung berbukit tanpa ada transportasi tanpa ada jalan raya dan kadang tinggal tanpa ada penerangan.

Pengalaman Program SM3T

Program ini banyak sekali manfaatnya untuk Indonesia, dan bagi seorang pengajar banyak sekali pahalanya - karena dengan tanpa pamrih mereka kadang harus melintasi sungai tanpa jembatan, jalan tanpa aspal dan memberikan ilmu kepada anak anak Indonesia yang membutuhkan...Guru...Jasamu Tiada Tara.

Berikut adalah cerita Rukin Firda yang sengaja kami ambil dari Jawa Pos National Network agar pembaca di seluruh Indonesia bisa mendapatkan gambaran bagaimana suka duka mengikuti program SM3T. Bagi anda yang akan mengirimkan cerita dan pengalaman anda mengikuti program SM3T, silakan kirimkan pengalaman anda ke alamat email (asncpns at gmail.com) beserta foto foto anda - dan biarlah pengabdian anda dikenang Indonesia. kami akan mempublikasikan suka duka anda di asncpns.com

Rukin Finda - Wartawan Jawa Pos yang merasakan kehidupan sehari-hari 241 sarjana SM3T yang ditugaskan di pelosok Kabupaten Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT) - (sumber: Jawa Pos)


==============================

SEBAGAI lurah -sebutan untuk koordinator- SM3T di Sumba Timur, Joko Warsito merasa wajib datang ke ibu kota Sumba Timur di Waingapu untuk menemui tim monev (monitoring dan evalusi). Selain melaporkan kegiatan rekan-rekannya peserta SM3T yang berjalan dua bulan, dia belanja beberapa barang yang dibutuhkan.

Untuk mencapai Waingapu, dia harus melakukan perjalanan sejauh 120 kilometer dengan kondisi alam yang penuh tantangan dan infrastruktur yang sangat minim. Jarak yang di Pulau Jawa hanya perlu waktu sekitar dua jam untuk menempuhnya, alumnus jurusan Pendidikan Ekonomi Unesa (Universitas Negeri Surabaya itu) menghabiskan waktu setengah hari. "Saya berangkat pukul 09.00. Sampai di sini (Waingapu) pukul 21.00," kata pemuda asal Lamongan, Jawa Timur, tersebut.

Perjalanannya diawali dengan berjalan kaki selama satu jam dari SMP Satap (Satu Atap) Uma Ndudu di Desa Mahanewa, Kecamatan Pinupahar, tempat dia ditugaskan. Dia harus turun gunung menuju Desa Ramuk, yang menjadi titik terakhir yang bisa dijangkau kendaraan umum.

Di Ramuk itulah Joko menunggu oto, kendaraan umum khas Sumba Timur. Kendaraan itu sejatinya adalah truk yang bak belakangnya disulap menjadi tempat duduk penumpang dan barang.

Dari warga Ramuk dia mendapat informasi bahwa oto tidak bisa masuk Ramuk. Penyebabnya, sungai meluap dan terjadi longsor di beberapa ruas jalan setelah hujan beberapa hari sebelumnya. Alternatif lain adalah dengan ojek sepeda motor. Namun, dalam kondisi jalan seperti itu, juga sangat sulit untuk menemukan pengojek di Ramuk.

Tidak ada pilihan lain baginya selain berjalan kaki menuju Desa Katikwa, yang menjadi titik terakhir yang bisa dicapai oto dengan kondisi hujan seperti saat itu. Bagi Joko, yang selama berkuliah aktif di menwa (resimen mahasiswa), tidak terlalu masalah jika harus berjalan satu setengah jam menuju Katikwa.

Tantangan dalam perjalanan itu adalah harus tiga kali menyeberang sungai. Sungai yang sama, namun karena berkelok-kelok, dia harus menyeberanginya lebih dari sekali.

Tantangan tambahannya, hujan telah membuat permukaan sungai yang pada hari-hari biasa hanya selutut, saat itu mencapai dadanya. "Saya harus kehilangan sepatu saya," katanya.

Saat bertemu para pejabat Sumba Timur dan tim monev yang dipimpin Rektor Unesa Prof Dr Muchlas Samani, Joko hanya bersandal jepit. Sandal itu pun akhirnya terbawa arus sungai saat menemani rombongan Muchlas mengunjungi sekolah, menempuh perjalanan yang sama dengan yang dia tempuh sebelumnya.

Perjalanan dari Katikwa menuju Waingapu memang lebih mudah. Joko sudah bisa menumpang oto dari desa itu. Tidak ada lagi sungai yang harus dilanggar "istilah warga setempat untuk menyeberang. Hanya dia harus melewati jalan dengan kondisi rusak dan menembus Taman Nasional Hutan Laewangi Manggawesti.

Tantangan saat mengendarai oto adalah kesabaran. Dengan sepeda motor atau mobil pribadi, perjalanan itu bisa ditempuh dalam waktu tiga sampai empat jam. Sementara itu, dengan oto bisa mencapai sembilan sampai sepuluh jam.

Perjalanan seperti itu harus dilakukan Joko atau sarjana lain yang mendapat tugas belanja ke Waingapu. Rute Ramuk"Katikwa"Waingapu adalah rute terdekat dan termudah. Jika rute tersebut tidak bisa ditempuh karena ada longsor atau sungai terlalu dalam dan tidak mungkin dilanggar, Joko atau yang lain harus menempuh jalur alternatif yang memutar dan lebih sulit.

Jalur tersebut adalah Ramuk-Okatana-Lea-Lunggi-Pinupahar-Waingapu. Selain lebih jauh, mereka harus delapan kali melanggar sungai.

Sedikit hiburan dalam perjalanan seperti itu adalah airnya yang sungguh jernih dan menggoda untuk mandi dan berendam. Biasanya, mereka mandi di "pelanggaran" terakhir. "Sekaligus menghilangkan debu dan peluh. Acara mandinya bisa satu jam," kata Joko.

Dengan kondisi seperti itu, bagaimana Joko mengoordinasikan rekan-rekannya yang tersebar di 21 kecamatan di Sumba Timur" Pertemuan langsung jelas sangat tidak efektif. Pilihannya adalah telepon. Karena tidak ada fixed telepon, telepon seluler menjadi pilihan.

Tantangannya adalah tidak mudah mendapatkan sinyal di wilayah dengan topografi seperti itu. "Kami harus naik ke bukit sinyal," kata Sutikno, sarjana pendidikan sejarah yang juga dari Lamongan.

Mbah Tik "panggilan Sutikno" ditempatkan di SMP Kahembi, Kecamatan Tabundung. Bukit sinyal itu berjarak sekitar satu jam perjalanan dengan sepeda motor dari SMP Kahembi, yang juga menjadi tempat tinggalnya.

Sebagian besar peserta SM3T memang tinggal di sekolah tempat mengajar dengan memanfaatkan aula atau perpustakaan. Di bukit sinyal itu Muchlas sempat ikut mencoba naik. Terbukti tepat di bawah pohon damar dia mendapatkan sinyal sampai tiga bar. "Bagus. Sempat terima tiga e-mail dan dua SMS," kata rektor yang suka berpetualang tersebut.

Yang bertugas di SMP Uma Ndudu lebih sulit. Untuk mendapatkan sinyal, mereka harus menuju gua sinyal di bukit yang berjarak satu jam berjalan kaki dari sekolah. Menuju gua sinyal, mereka harus mendaki bukit tersebut sekitar sepuluh menit. "Sampai di gua di puncak bukit, dia harus mengatur napas dahulu sekitar sepuluh menit baru kemudian menelepon," kata Nova Dipantoro, sarjana penjas (pendidikan jasmani) asal Ponorogo, Jawa Timur.

Sarjana yang ditugaskan di SMP Satap Okatana itu mendapatkan sinyal telepon seluler dengan cara unik. Ada beberapa titik di perpustakaan - yang menjadi tempat tinggal mereka" yang bisa mendapatkan sinyal. "Biasanya dekat jendela," kata Nurudin, sarjana pendidikan ekonomi asal Mojokerto, Jawa Timur.

Setelah mendapatkan titik-titik tersebut, mereka pun sepakat berada di sana untuk berkomunikasi lewat ponsel. Hari dan jamnya pun disepakati. "Biasanya dua hari sekali pas pukul 14.00," papar Joko.

Dengan kondisi seperti itu, mengeluh atau menyerahkah para sarjana tadi" Selama menemui mereka, tidak terlihat kesan seperti itu. Bahkan, sebaliknya, sudah ada 20 sarjana yang menyatakan siap kembali ke Sumba Timur setelah program tersebut berakhir.

Program SM3T berlangsung setahun sampai Desember mendatang. Setelah itu, mereka mendapatkan prioritas dan beasiswa PPG (pendidikan profesi guru) di Unesa. "Peminat umum harus antre dan menyesuaikan kuota," terang Muchlas.

Tidak ada keharusan bagi peserta SM3T untuk kembali ke Sumba Timur. Namun, 20 sarjana tadi sudah menegaskan tekad mereka. "Saya seperti terlahir kembali dan ingin kembali ke sini," kata Nizar S. Pratama, sarjana pendidikan fisika asal Bojonegoro, Jawa Timur. Saat ini Nizar ditugaskan di SMP I Tabundung.

Tekad serupa disampaikan Syaifullah, sarjana pendidikan biologi asal Mojokerto. Dia bahkan sudah menyampaikan tekadnya kepada orang tua, yang malah memberikan dukungan. "Insya Allah saya kembali ke sini," tegasnya.

Pak Lurah Joko termasuk dalam 20 sarjana yang menyatakan kesiapannya untuk kembali ke Sumba Timur demi mendidik anak-anak di sana. "Saya mantap kembali ke sini," kata sarjana yang pernah mengikuti program Pementasan Buta Aksara Suku Anak itu.

Kondisi topografis Kabupaten Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT), melahirkan banyak sekolah terpencil. Bagi para sarjana SM3T, keterbatasan itu justru menjadi tantangan yang membulatkan tekad mereka untuk kembali ke sana setelah program itu selesai Desember mendatang.

RUKIN FIRDA, Sumba Timur

KOORDINATOR SM3T (Sarjana Mendidik di Daerah Terdepan, Terluar, dan Tertinggal) Universitas Negeri Surabaya (Unesa) Prof Dr Lutfiyah Nurlaera menerima SMS dari Riski Soegiarto, salah seorang sarjana peserta. Kurang lebih isinya seperti ini:

Ibu, saya Riski. Saya ditugaskan di SD Ramuk, Kecamatan Pinupahar. Ibu, tempat saya sangat jauh dari kecamatan. Saya harus berjalan melintasi bukit dan menembus hutan serta menyeberangi banyak sungai, jika saya akan ke kecamatan, dengan jarak tempuh lebih dari 5 jam. Makanya ketika ada supervisi tempo hari, saya tidak bisa menemui ibu di kecamatan. Ibu, sebenarnya saya sangat berat meninggalkan kepala sekolah, guru-guru, dan murid-murid saya di sini. Tapi, saya tidak yakin saya kuat tinggal di sini.

SMS itu datang ketika program SM3T baru berjalan sebulan. Riski merasa tidak yakin bisa kuat melanjutkan tugasnya di SD Ramuk. Selain karena lokasi sekolah yang terpencil, perempuan 23 tahun itu harus tinggal seorang diri di aula.

Sarjana PGSD asal Candi, Sidoarjo, Jawa Timur, itu tidak seberuntung rekan-rekannya yang bisa tinggal berkelompok 5-9 orang. Karena penempatan sarjana SM3T yang didasarkan pada kebutuhan, gadis berjilbab itu ditugaskan di SD Ramuk seorang diri.

Namanya yang mengesankan sebagai lelaki memang mengecoh pejabat di Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga Sumba Timur. Andai mereka mengetahui Riski adalah perempuan, bisa jadi dia tidak akan ditugaskan sendiri seperti itu.

Anak tertua di antara dua bersaudara yang dilahirkan Desember 1988 itu memanfaatkan aula sekolah sebagai tempat tinggal. Sendirian, dia harus melewati malam tanpa aliran listrik dengan jendela yang hanya dipasangi kawat ram.

Mengetahui kondisi seperti itu, rekan-rekannya yang ditugaskan di SMP Uma Ndudu bergantian menemani Riski. SMP Uma Ndudu adalah sekolah terdekat dengan SD Ramuk yang bisa ditempuh dengan berjalan kaki naik-turun bukit sekitar satu jam.

Lutfi "panggilan akrab Prof Lutfiyah" akhirnya bisa mengunjungi dan bertemu langsung dengan Riski di "mess"-nya, aula SD Ramuk. Begitu Riski membuka pintu aula dan melihat Lutfi, wajah imut namun tegar itu seakan tidak percaya dengan sosok yang berdiri di hadapannya.

Tubuh mungil itu pun langsung menghambur dan memeluk Lutfi. Meski terharu, keinginan agar dipindah seperti dalam SMS-nya tidak terlihat. Dia terlihat tegar dan kuat menjalani kesendiriannya dalam menjalankan tugas. Dia sempat berbisik kepada Lutfi. "Beri saya teman, Ibu. Saya membutuhkan teman," katanya.

Dia menambahkan, bukan kesepian yang membuat dirinya membutuhkan teman melainkan ada bisa membantunya merancang program-program bagi anak-anak didiknya.

Apa yang mengubah Riski yang tergambar dalam SMS-nya dengan keadaannya saat ini? "Antusiasme anak-anak dan keramahan masyarakat sekitar," ujarnya, lantas tersenyum.

Sebelum ada sarjana SM3T di sekolah Riski, siswa terkesan enggan ke sekolah. Selain keharusan membantu orang tua, sering mereka merasa sia-sia ke sekolah karena justru gurunya yang tidak hadir.

Kehadiran Riski membuat semangat anak-anak itu untuk belajar mendapat jawaban. Anak-anak terlihat sangat haus akan pengetahuan.

Di pagi hari, jika mereka belum mendapati Riski di ruang kelas, siswa mendatangi dia di "mess". Mereka bersama-sama memanggil nama Riski dengan sebutan "Ibu Guru" untuk segera keluar dan memberi mereka pelajaran. "Saya benar-benar trenyuh," tuturnya.

Para siswa itu juga rela berjalan kali berkilo-kilometer untuk sampai di sekolah. Banyak di antara mereka yang bertelanjang kaki, bersandal jepit, atau sepatu kebesaran. "Bekalnya adalah selembar buku dan sebatang pol bolpoin atau pensil," ungkap Riski.

Dorongan lain yang membuat Riski bisa bertahan dan melupakan kesendiriannya adalah respons masyarakat sekitar sekolah. Kenyataan bahwa antara dia dan masyarakat berbeda keyakinan tidak menjadi penghalang.

Riski menilai, masyarakat di Ramuk "secara umum di Sumba Timur" sangat toleran dan menghormati keyakinannya. Saat ada upacara adat yang dilengkapi dengan sajen hewan ternak, masyarakat di sana memberikan perlakuan berbeda pada masakan yang diberikan kepada Riski dan juga peserta SM3T lainnya.

"Ternaknya diberikan hidup-hidup dan meminta kami menyembelih dan memasak sendiri. Mereka tidak ingin ternak itu menjadi makanan yang haram dan najis berdasar keyakinan kami," tutur Sutikno, yang ditugaskan di SMP Kahembi, Kecamatan Tabundung. Kini dia mengaku sudah ahli menyembelih kambing atau lembu. "Cuma, kalau menyembelih kuda, saya belum berani," tambahnya.

Selain keramahan warga, penghormatan mereka terhadap guru menjadi pendorong para peserta SM3T untuk mantap menjalani tugas mereka. Bagi masyarakat Sumba Timur, guru disejajarkan dengan kalangan bangsawan.

Sutikno menuturkan bahwa dirinya dan rekan-rekan kerap diundang untuk mengikuti rapat dusun. Dia sering diminta untuk memberikan masukan guna pengembangan dusun tempat sekolah mereka berada.

Salah satu masukan Mbah Tik "panggilan akrab Sutikno" adalah menanam padi jenis cepat panen. "Saya sudah mendatangkan bibit padi itu dan sedang dalam perjalanan ke sini," katanya.

Secara umum, kekuatan yang menjadi pendorong para sarjana tersebut menjalani program SM3T dengan segala keterbatasan dan kesulitan adalah antusiasme warga dan anak-anak didik mereka. Camat Pinupahar Drs Andreas Marumata mengatakan bahwa telah terjadi lompatan besar di sekolah-sekolah di kecamatannya setelah datangnya para sarjana SM3T itu.

"Selama ini kami sangat kekurangan guru. Satu SD yang terdiri atas enam kelas (I?VI) hanya memiliki seorang guru," katanya.

Dengan kondisi tersebut, wajar jika anak-anak yang sebenarnya sangat haus akan pendidikan itu terkesan enggan ke sekolah. Mereka merasa sia-sia datang ke sekolah karena akan lebih banyak mengganggur gara-gara ketiadaan guru. "Sejak ada rekan-rekan SM3T, kehadiran siswa naik pesat," tutur Kepala SMP Negeri 1 Pinupahar Dominggus Tata Ewang SPd.

Situasi serupa juga terjadi di SMP Kahembi, Kecamatan Tabundung. Kepala SMP Kahembi Rambu Donga Ndima SPd menuturkan, kini sudah jarang jam kosong di sekolahnya. "Siswa memiliki lebih banyak waktu belajar. Kini mereka bahkan enggan beristirahat," kata kepala sekolah perempuan yang memiliki darah bangsawan tersebut.

Darah bangsawannya tidak membuat Rambu Donga rikuh dan canggung untuk bergabung dengan sarjana SM3T yang tinggal dengan memanfaatkan ruang di sekolah. Jika peserta SM3T tidur di ruang perpustakaan yang disekat, Rambu Donga memanfaatkan kamar mandi sekolah untuk tempat tidur.

Murid, guru, dan masyarakat Sumba bahkan sudah mengusulkan agar SM3T tidak sekadar menjadi program instan dan singkat. Mereka berharap, program tersebut bekelanjutan. "Setidaknya bisa diperpanjang 2-3 tahun," kata Camat Andreas.

==============================

Selain cerita diatas, anda juga bisa melihat video pengalaman SM3T Unnes di Kabupaten Ende Flores



Semoga dengan cerita dan video diatas, pemerintah lebih bisa lebih memahami, lebih merasakan pengorbanan seorang guru kepada Tanah Airnya demi untuk mencerdaskan Indonesia. Guru adalah sebenar benarnya Pahlawan Tanpa Tanda Jasa. Bagi mereka setetes keringat adalah seribu semangat..semangat untuk menjadikan Indonesia Lebih Baik.

7 komentar:

  1. keikhlasan dan kesungguhan membangun suatu kekuatan dan kemampuan.
    patut diapresiasi. Semangat selalu (Y)

    BalasHapus
  2. terharu,.luar biasa pengorbanan seorang guru

    BalasHapus
  3. subhanaAllah luar biasa. beliau orang-orang hebat

    BalasHapus
  4. Semoga bisa merasakan menjadi guru SM3T di 2019.

    BalasHapus

Sosmed Kita

Facebook
Like Us
Google Plus
Follow Us
Twitter
Follow Us
Pinterest
Follow Us

Subscribe dapetin info asncpns

(Kamu dapetin kabar Fresh dari kita, aman dari HOAX)